Minggu, 06 April 2008

My Campus Oh... No!!!


Biaya kuliah di UNIKARTA semakin mahal

Kinerja Aparaturnya semakin mundur.

OLEH:

TONI NURHADI KUMAYZA

WAKIL PRESIDEN BEM UNIKARTA

System pengelolaan Manajemen keuangan, pelayanan administrasi, dan kegiatan akademik unikarta sudah saatnya di evaluasi kembali, apapun bentuknya sampai pada saat ini stabilitas keuangan lembaga pendidikan ini belum bisa tercapai. Perbaikan, masukan berupa saran dan kritik patut kita lihat dengan kerangka berpikir positif untuk memajukan lembaga pendidikan ini.

Memang banyak persoalan yang hingga hari ini mengganjal kita semua. Sebagai civitas akademika kampus, tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan oleh lembaga ini tidak bisa diselesaiakan hanya dengan 3 s/d 4 kali rapat Senat Universitas saja. Akan tetapi perlu kosistensi dan militansi semangat membangun yang “bebas nilai” tidak tercemari oleh kepetingan individu-individu, (elit politik, aparatur pemeritah /birokrat, broker-broker pendidikan dan lain sebagainya)

Kita sadar masalah internal kampus kita hari ini sudah sangat kronisnya, menyeret semua aparatur kampus pada pemikiran sempit atau bisa di bilang “azas Manfaat”. Unikarta tidak mempunya figure akademisi sejati yang membangun kampus ini sebagai lembaga pendidikan bonafit, terhormat, dan elegan di Kalimantan timur itu saja dulu. Semua masalah di bawah ini merupakan akibat dari sebuah persoalan yang tidak ditangaani oleh ahlinya, elit politik menjadikan kampus ungu sebagai lahan politik praktis. Birokrat menjadikan kampus ungu sebagai ladang subur penghasil rupiah.

Mari kita tengok apa sebenarnya yang terjadi:

1. Bidang Keuangan

Unikarta menghadapi kondisi yang failed, 4 bulan lebih gaji dosen dan karyawan tidak terbayarkan oleh yayasan terhitung semenjak Mei s/d Agustus 2007. diputuskan dalam rapat senat universitas kemudian rektorat mengambil pengelolaan keuangan terhitung semenjak tahun akademik baru yaitu ganjil 2007/2008 tepatnya pada bulan Agustus. System pengelolan keuangan unikarta yang disebut Rancangan kegiatan anggaran (RKA) baru berjalan 3 bulan, namun bebarapa persoalan mulai membelit. System ini didasarkan pada konsep kinerja, dan pada dataran pelaksanaanya belum di pahami secara utuh. kita tahu dan sadar yang terjadi adalah eksploitasi sumber-sumber pendapatan oleh rektorat. Mulai dari kenaikan haraga SKS terhadap mahasiswa baru sebesar kisaran Rp 35.000 s/d Rp 50.000, uang gedung menjadi Rp 500.000 her registrasi per semester Rp 40.000.

Oke, sekarang kita kupas permasalahannya :

Pada dasarnya meskipun terpaksa mahasiswa tidak keberatan dengan angka kenaikan tersebut diatas, dengan harapan lebih dapat mandiri dan fasilitas yang diberikan akan lebih baik. Akan tetapi pengelolaan keungan tersebut rupanya bukan di pegangan oleh yang ahli di bidang itu, RKA (rencangan kegiatan anggaran ) produk yang cacat hukum. System ini belum dipahami secara utuh dan belum mendapat payung hukum dalam pelaksanaannya, boleh di bilang belum disahkan tapi sudah dijalankan. Konsep RKA adalah konsep kinerja yang harus dipahami ialah setiap RKA yang di ajukan oleh Fakultas harus betul menunjukan bobot/beban kinerja yang di minta berdasarkan sumber-sumber pendaptan fakultas tersebut. Dalam setiap pengajuan RKA Pengeluaran oleh masing-masing fakultas, Badan Administrasi Umum (BAU) harus berperan besar, BAU harus mampu melihat besaran penerimaan setiap fakultas berdasrkan slip pembayaran mahasiswa yang ada entah itu SKS, SPG, Seminar, Her-regitrasi, dll, dari masing-masing fakultas. Sehingga nantinya tidak tejadi apa yang disebut besar pasak dari pada tiang dalam setiap ajuan dari fakultas.

Yang terjadi sebaliknya BAU tidak bisa menunjukan besarnnya pemasukan keuangan dari masing-masing fakultas, sehingga salah satu fakultas seperti Sospol yang notabene mendapat pemasukan sebesar 1 milyar (regular 600jt & khusus 400jt) menjadi korban sapi perah. Rekening Koran berkisar 1 milyar yang di sebut-sebut dalam rapat terakhir boleh dikatakan itu merupakan pemasukan Fakultas Sospol, karena sesuai dengan slip pembayaran yang masuk ke Fakultas Sospol. Kalau begitu kita harus tegas dan gentlemen, jika itu uang hak dari fakultas penghasil mengapa dipersulit dalam pengajuan RKA??? Yang punya uang kan fakultas itu sendiri kenapa harus di persulit?? Sedangkan fakultas yang belum ada pemasukan dalam pengajuan RKA-NYa harus berani di pending oleh rektorat, karena apa yang akan direalisasikan? jika tidak ada Pemasukannya? Dengan di pending RKA yang di ajukan maka itu sebagai sanksi administrasi agar fakultas tersebut bisa memperbaiki kinerja administrasinya. Kinerja disini harus benar-benar di ukur seutuhnya, boleh di bilang beda mengurus mahasiswa yang bnyak dangan mahasiswa yang sedikit. Beda mengajar mahasiswa yang bnyak dengan yang sedikit, beda beban pelayannanya beda fasilitas dan ruangnya dll.

Jika ini di biarkan berlarut-larut maka kita akan jatuh ke lubang yang sama, seperti lubang yayasan kita terprosok. Dimana dana dari salah satu fakultas membiyai seluruh fakultas, jelas saja kita tergantung akan subsidi dan dana abadi menjadi habis karena selalu menalngi pengeluaran fakultas yang pengasilannya minim namun mengajukan dana besar, otomatis gaji akan telat. Adil bukan berarti sama rata, adil harus proporsional..!!! jika kita ingin memperbaiki unikarta administrasi di masing- masing fakultas harus di perbaikai, minimal harus paham dengan system SKS yang di terapkan oleh universitas ini. Dan jika BAU tidak siap dengan system RKA lebih baik ga usah sok pinter.

Lihat saja masalah pajak yang tidak jelas dasar hukum dan aturannya, membuat setiap bendahara masing-masing fakultas menduga-duga karena kita semua berdasarkan dugaan bukan ilmu oleh orang yang ahli dan tidak ada aturan yang pasti, apakah ini membuat kita semua sejahtera atau sebaliknya??? Dalam rapat pembesar unikarata selalu bermulut sosialis ternyta setiap prakteknya berperut kapitalis. Jika kita semua berkeinginnan memperbaiki manajemen keuang unikarata mari serahkan kepada yang ahli-nya, mari buatkan aturan hukum yang jelas, sehingga dalm pelaksanaannya sesuai dengan apa yang di harapkan…………. To… be.. continue

1 komentar:

BKPRMI mengatakan...

Buat Toni.
Saya setuju saja pendapat ada, namun sangat disayangkan. Saudara tidak mempunyai etika. Kebebasan berpendapat selama ini sering disalah gunakan oleh sebagian orang termasuk saudara. Bagaimana sikap Syek Abdul Kadir Jailani dalam menghadapi dunia ini, beliu tidak merasa lebih terhadap 7 golongan. Saudara harus baca sejarah beliu. Mari kita berkaca pada diri sendiri dulu. Jika saudara seperti Syek Abdul Kadir Jailani. Saya salut pada peran saudara selama ini. KH. Ali Yafie mengatakan manusia tidak bisa mengatakan kita memiliki demokrasi. Demokrasi itu ada batasnya, termasuk hak asasi manuisa. Cobalah saudara renungkan dan membaca memori beliau 70 tahun KH. Ali Yafie.
Semoga saudara menjadi manusia yang sempurna.